Aku dan Mahameru

semeru

Puncak Semeru


Selama beberapa tahun ini, aku menghabiskan waktu luangku dengan mendaki, aku sudah mendaki beberapa gunung dan melakukan penjelajahan di beberapa taman nasional. Semua perjalanan tersebut aku lakukan dalam keadaan ‘good mood’. Lain ceritanya dengan pendakianku kali ini ke Gunung Semeru, gunung tertinggi di Pulau Jawa yang aku lakukan dalam keadaan hati yang sangat kacau sampai akhirnya aku mendapatkan spirit sehingga menganggap pendakian semeru ini merupakan pendakianku yang istimewa..

Berbagai kejadian dan peristiwa yang aku alami selama pendakian ini benar-benar telah membuat perubahan besar dalam hidupku. Pendakian ini sebenarnya sudah aku rencanakan 2 bulan yang lalu setelah aku menyelesaikan pendakianku ke Gunung Pangrango Juni silam. Rencananya pendakian ini akan aku lakukan bersama dengan seorang yang spesial. Namun Tuhan berkehendak lain, ternyata ia tidak diijinkan lagi untuk mendaki. sehingga membuat rencana awal tersebut hampir saja gagal. Hampir saja pendakian semeru gagal..

Tetapi mungkin insting pendaki sudah mendarah daging dalam tubuhku. Dorongan untuk tetap mendaki semeru tetap saja bergolak. Meskipun harus mendaki tanpanya disampingku, aku tetap akan mendaki semeru. Toh dahulu pun aku beberapa kali melakukan pendakian tanpanya. Meskipun mendaki mengingatkanku akan hal yang menyakitkan, tetapi kerinduan bercerengkama dengan alam pasti akan lebih membahagiakan. Aku berpikir, di saat seperti inilah seharusnya aku mendaki, bukan untuk melarikan diri masalah, tetapi dengan mendaki mungkin saja aku bisa lebih merenungkan tujuan hidupku ke depan. Pikirku lagi, “bukankah tujuan mendaki adalah menaklukkan diri sendiri, bukan menaklukkan sebuah puncak gunung?”. Jadi tidak ada alasan bagiku untuk tidak mendaki lagi. Justru inilah saat yang tepat aku harus bisa menaklukkan diri sendiri?”. Lantas apakah tidak berbahaya melakukan pendakian berbahaya ke gunung seperti Gunung Semeru?. Hati kecilku mengatakan bahwa itu semua sudah menjadi resiko.

Tentu saja, semua kegiatan pastilah mengandung resiko. Semakin sulit situasi yang dihadapi ketika mendaki dan semakin besar tantangannya, maka akan semakin terasa manis aliran darah nanti saat semua ketegangan tersebut terlepas. Bagiku bahaya hanya akan mempertajam kewaspadaan dan kontrol. Barangkali inilah penjelasan dari semua jenis kegiatan yang beresiko. Kalaupun harus meninggal di puncak mahameru karena hipotermia atau gas beracun atau sebab lain, aku tidak akan menyesal. Bukankah setiap pendaki ingin berpulang dan berbaring tenang di rumahnya, yaitu gunung? Bukankah gunung adalah rumah setiap pendaki, jadi kalaupun harus mati, tentu akan menyenangkan seandainya harus menghembuskan nafas terakhir di rumahnya sendiri. Bagiku gunung adalah tempat yang indah untuk menghadap-Nya. Gunung memang telah begitu menghipnotisku..

Di gunung aku merasa nyaman, tenang, dan bahagia. Di gunung aku merasa sangat dekat dengan yang menciptakan aku dan menciptakan dunia ini. Di gunung pula aku bisa merasa betapa dekatnya batas antara kehidupan dan kematian sehingga tidak ada tempat bergantung lagi selain kepada Sang Pencipta, Allah SWT. Sungguh, gunung merupakan tempat yang sangat luar biasa.

MAHAMERU, 1 September 2011

semeru

Gampala Tangerang, Green Heart, Kakuspala, dan Starpala saat memuncaki Gunung Semeru

semeru

Letupan Mahameru (wedus gembel) pada saat tiba di puncak

Tinggalkan komentar